Selasa, 17 Juni 2014

RISIKO PASAR PADA CITIBANK

KHAIRUNNAS, FAKULTAS ILMU SOSIL DAN ILMU POLITIK, U N I V E R S I T A S   R I A U
 
Dampak terbongkarnya kejahatan MD, selain menggoyahkan reputasi Citibank, juga membawa efek berantai pada industri perbankan nasional yang tengah berupaya ekstra memulihkan kredibilitasnya akibat skandal Bank Century.  Tetapi,  kasus MD dan Citibank seperti meruntuhkan seluruh kerja keras tersebut. Alhasil kredibilitas perbankan Tanah Air pun kembali goyah.
Bahkan kasus yang bagai air kini mengalir deras hingga menyentuh persoalan pencucian uang. Malinda Dee lewat pengacaranya mengaku bahwa Citibank telah menampung dana pencucian uang nasabahnya selama 10 tahun. Jadi pihak Citibank telah lama mengetahui praktik Malinda yang kini telah merugikan nasabah sebesar Rp16,03 miliar. Dampaknya, jika terjadi masalah pada Citibank maka akan mempengaruhi reputasi bank lain dalam pasar tersebut.
Sebuah data menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, yaitu periode 2007-2010, terjadi sekitar 15.097 kasus pembobolan perbankan. Selain Citibank dan Bank Mega, ada sederetan kasus yang menjadi perhatian publik dalam setahun terakhir. Kasus-kasus tersebut, antara lain pembobolan kantor kas BRI Tamini Square sebesar Rp 29 miliar, pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank BII dengan total kerugian Rp 3,6 miliar, dan pencairan deposito dan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya di Bank Mandiri dengan nilai kerugian Rp 18 miliar.
Jadi, kejahatan yang menimpa dunia perbankan ini tidak hanya dialami
bank-bank kecil tapi juga perbankan  besar dengan reputasinya yang sudah teruji. Para pelaku pembobolan pun bukanlah siapa-siapa tapi, dari kalangan karyawan bank sendiri. Sungguh ironis, sebagai sebuah institusi bisnis yang sangat bertumpu pada kepercayaan, reputasinya justru dirusak oleh orang dalamnya.
Betapapun kecilnya kerugian yang diderita, kasus pembobolan dana nasabah jelas merusak, setidaknya, mengganggu reputasi perbankan sebagai institusi bisnis yang aman bagi masyarakat dalam menyimpan dananya.
Dengan gampang kita pasti akan menyebutkan bahwa kasus-kasus pembobolan terjadi karena perbankan tidak lagi memperhatikan prosedur standar dalam pengelolaan risiko. Padahal, setiap bank pasti memiliki Satuan Kerja Manajemen Risiko yang berfungsi memantau dan menilai secara sistematik profil risiko bank. Tim pengelola risiko inilah yang bertugas mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan, prosedur, serta pengawasan internal perbankan.
Fungsi pengendalian atau pengawasan internal berperan penting dalam mengelola risiko operasional perbankan. Adalah tugas bidang pengendalian internal inilah yang tetap harus membelalakkan mata untuk meneropong dan mengidentifikasi setiap risiko yang berpotensi menimbulkan kegagalan atau kerugian dalam sistem perbankan.
Krisis perbankan yang telah menimpa perekonomian dalam satu decade terakhir ini menjadi pelajaran berharga bagi otoritas moneter untuk semakin memperkuat regulasi dan kelembagaan perbankan dalam mengelola risiko. Sejak 2004, Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah ketentuan dalam mengelola risiko perbankan, seperti pembentukan Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko.
Satuan Kerja Manajemen Risiko berfungsi untuk memastikan pelaksanaan proses berjalan lancar dan memberikan gambaran profil risiko kepada manajemen. Selain itu, bank – dengan jumlah asset besar — diwajibkan untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko terhadap delapan (8 ) risiko utama, yaitu risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko strategik, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan.
Untuk meminimalisasi risiko-risiko yang dihadapi oleh suatu bank, manajemen bank tersebut harus memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai, sehingga segala macam risiko yang berpotensi untuk muncul dapat diantisipasi dari sejak awal dan dicarikan cara penanggulangannya.
Kasus Citibank, Bank Mega, dan kasus-kasus pembobolan serupa lainnya menunjukkan kepada kita bahwa pengelolaan risiko perbankan belum dilakukan dengan baik. Bank gagal dalam mengelola risiko operasional yang di dalamnya meliputi risiko reputasi dan risiko kepatuhan.

ANALISIS:
Risiko operasional memang merupakan ancaman terbesar dari sejumlah risiko yang dihadapi bank. Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian yang diakibatkan kegagalan proses internal, orang, dan sistem atau dari peristiwa eksternal. Artinya, risiko ini timbul dari berbagai jenis kesalahan manusia dan kesalahan teknis.
Kegagalan dalam mengelola risiko operasional bisa membawa dampak yang sangat luas, mulai dari tergerusnya modal bank, kerugian derivative yang besar, bahkan berpotensi sebagai penyebab utama kebangkrutan dalam industri perbankan. Risiko ini dapat terjadi di seluruh organisasi,  pada front office dan back office, termasuk terjadi pada aktivitas-aktivitas sebelum, selama, dan setelah transaksi bisnis.
Dalam mengelola risiko operasional, manajemen wajib memastikan setiap unit kerja menjalani fungsi dan tugasnya sesuai prosedur. Sekecil apapun kesalahan tidak bisa ditoleransi. Hal ini diterapkan mulai level direktur hingga staf.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar