Tanggal 5
Januari 2011 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan baru mengenai
penilaian tingkat kesehatan bank umum melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No.13/1/PBI/2011 yang menyebabkan terjadinya perubahan tata cara
penilaian dan pelaporan bank. Munculnya peraturan ini adalah dalam
rangka meningkatkan efektivitas penilaian tingkat kesehatan bank dengan
pendekatan berdasarkan risiko dan menggunakan 4 faktor pengukuran yaitu
profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), rentabilitas (earnings), dan permodalan (capital). Keempat faktor ini adalah satu kesatuan nilai yang akan menjadi hasil akhir peringkat tingkat kesehatan bank.
Dalam
PBI yang mengatur RBBR ini menyebutkan bahwa bank wajib memelihara
dan/atau meningkatkan tingkat kesehatan bank dengan menerapkan prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha.
Perbedaan
dari PBI ini adalah adanya penilaian yang dapat dilakukan pengkinian
sewaktu-waktu apabila diperlukan pada periode penilaian yang dilakukan
setiap semester (posisi akhir bulan Juni dan Desember). Selain itu
adalah peringkat setiap faktor tersebut ditetapkan berdasarkan kerangka
analisis yang komprehensif dan terstruktur. Dalam PBI ini juga
mewajibkan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham
menyampaikan action plan
kepada Bank Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian
tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau self assessment oleh bank.
Bank
Indonesia sendiri melakukan penilaian tingkat kesehatan bank setiap
semester, dimana apabila terdapat perbedaan hasil penilaian yang
dilakukan bank Indonesia dengan hasil self assessment bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
“Peraturan
ini akan segera berlaku 1 Januari 2012 dan dipakai untuk penilaian
Desember 2011. Harus mulai dilakukan uji coba oleh bank pada bulan Juli
2011 untuk posisi Juni 2011. Sedangkan SE (Surat Edaran) secara lebih
detail, mudah-mudahan, keluar bulan Depan.” Demikian disampaikan Teguh
Supangkat Peneliti Eksekutif dari Bank Indonesia saat menjadi narasumber
pada Workshop Identifikasi PBI No.13/1/PBI/2011 di Hotel JW. Marriott
(27/4) lalu.
Teguh Supangkat menjelaskan bahwa latar belakang munculnya peraturan ini adalah global financial reform
sebagai respon atas krisis keuangan global tahun 2008 dimana Indonesia
sebagai anggota G-20 melakukan penyempurnaan kerangka RBS dan penilaian
tingkat kesehatan bank dengan peningkatan kewaspadaan dari manajemen
risiko yang ada. Hal ini terkait pula dengan Basel II dan III, dimana
pada Basel III terkait dengan penguatan modal dan penyempurnaan
manajemen risiko. Selain itu karena Indonesia harus mengacu pada International Financial Reporting Standard (IFRS).
PBI
dengan pendekatan risiko ini merupakan penyempurnaan dari sistem
penilaian dan kerangka pengawasan bank dimana ada mekanisme judgement dan analisis komprehensif terstruktur sebagai landasan utama.
"Pendekatan risk-based
artinya belum ada suatu pelanggaran. Baru akan mendekati suatu
pelanggaran dan ada tendensi mau melakukan pelanggaran. Berarti kita
harus segera melakukan perbaikan dan tindakan." Lanjutnya.
***
Peneliti
Senior Bank Indonesia, Sally Marintan Hutapea yang juga menjadi
narasumber pada workshop ini menjabarkan metodologi penilaian tingkat
kesehatan bank. Hal yang sama disampaikan Sally bahwa metodologi RBBR
ini akan menjadi Surat Edaran (SE) Bank Indonesia yang rencananya akan
segera dikeluarkan Mei 2011 ini.
Sally menekankan bahwa implementasi RBBR ini lebih pada aspek analisis dan judgement
dimana dari sisi Bank Indonesia berupaya mengembangkan suatu sistem
penilaian peringkat atau rating yang lebih fleksibel agar dapat lebih
mengakomodir keunikan dari masing-masing bank yang ada.
"Disadari tidak ada satu bank yang sama, sehingga dalam penilaian tingkat kesehatan bank tidak ada one size fits all approach. Walaupun kami akan memberikan indikator utama tetapi bank sendiri yang akan menentukan risk profile, GCG, rentabilitas, dan permodalan bank sendiri.” Jelas Sally.
Tetapi
walau demikian, tetap ada rambu-rambu yang diberikan oleh Bank Indonesia
saat bank melakukan penilaian. “Tentunya rambu-rambu kami akan berikan.
Jadi menurut bank central inilah minimum requirement
yang harus ada pada saat bank akan menilai risiko kredit, risiko pasar,
operasional, likuiditas, juga modal dan rentabilitas. Tetapi tugas
selanjutnya untuk memasukan indikator atau aspek yang unik terhadap bank
itu adalah tugas bank." Imbuhnya.
RBBR merupakan integrasi antara 2 sistem rating yg berbeda yaitu CAMELS dan risk profile dimana sebelumnya pada risk profile ada 9 item risiko dan 6 poin pada CAMELS yang menjadi 4 faktor penilaian RBBR menjadi single rating system.
Pada tataran implementasi, tantangan yang teridentifikasi baik dari pihak Bank Indonesia maupun dari pihak bank adalah:
- Mengubah mindset dari kuantitatif menjadi analytical thinking yang didasari oleh analisis atas fakta-fakta
- Mengubah konsep dan aplikasi risiko inheren (inherent risk)
- Konsep analisis dan rasio-rasio baru
- Metodologi baru untuk mengaitkan modal dengan risiko
“Bank Indonesia juga sedang membangun suatu sistem yang namanya bank performance report, berisi rasio-rasio yang datanya terutama dihasilkan oleh Laporan Bank Umum. Kami juga membentuk peer group yang berdasarkan size dan juga yang berdasarkan ownership.” Ungkap Sally.
***
Workshop
pembahasan mengenai identifikasi, metodologi dan implementasi RBBR ini
terselenggara untuk merespon hadirnya PBI baru dimana bank dituntut
untuk mempelajari, memahami dan mampu memenuhi kewajiban dalam PBI ini.
Workshop berlangsung 2 hari dari 27 – 28 April 2011 di Hotel JW.
Marriott, diikuti 37 peserta dari berbagai bank di Indonesia.
Dengan
menghadirkan para narasumber kompeten dari Bank Indonesia sebagai
regulator sektor perbankan dan moneter, pembahasan mengenai RBBR dapat
dikupas secara mendalam mengenai 4 faktor penilaian RBBR yaitu profil
risiko, GCG, earnings dan capital. (adm/ga)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar