Selasa, 17 Juni 2014

Pengukuran Risk-Based Bank Rating (RBBR)


Tanggal 5 Januari 2011 Bank Indonesia mengeluarkan peraturan baru mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011 yang menyebabkan terjadinya perubahan tata cara penilaian dan pelaporan bank. Munculnya peraturan ini adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian tingkat kesehatan bank dengan pendekatan berdasarkan risiko dan menggunakan 4 faktor pengukuran yaitu profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), rentabilitas (earnings), dan permodalan (capital). Keempat faktor ini adalah satu kesatuan nilai yang akan menjadi hasil akhir peringkat tingkat kesehatan bank.  
Dalam PBI yang mengatur RBBR ini menyebutkan bahwa bank wajib memelihara dan/atau meningkatkan tingkat kesehatan bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha.
Perbedaan dari PBI ini adalah adanya penilaian yang dapat dilakukan pengkinian sewaktu-waktu apabila diperlukan pada periode penilaian yang dilakukan setiap semester (posisi akhir bulan Juni dan Desember). Selain itu adalah peringkat setiap faktor tersebut ditetapkan berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif dan terstruktur. Dalam PBI ini juga mewajibkan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau self assessment oleh bank.  
Bank Indonesia sendiri melakukan penilaian tingkat kesehatan bank setiap semester, dimana apabila terdapat perbedaan hasil penilaian yang dilakukan bank Indonesia dengan hasil self assessment bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
“Peraturan ini akan segera berlaku 1 Januari 2012 dan dipakai untuk penilaian Desember 2011. Harus mulai dilakukan uji coba oleh bank pada bulan Juli 2011 untuk posisi Juni 2011. Sedangkan SE (Surat Edaran) secara lebih detail, mudah-mudahan, keluar bulan Depan.” Demikian disampaikan Teguh Supangkat Peneliti Eksekutif dari Bank Indonesia saat menjadi narasumber pada Workshop Identifikasi PBI No.13/1/PBI/2011 di Hotel JW. Marriott (27/4) lalu.
Teguh Supangkat menjelaskan bahwa latar belakang munculnya peraturan ini adalah global financial reform sebagai respon atas krisis keuangan global tahun 2008 dimana Indonesia sebagai anggota G-20 melakukan penyempurnaan kerangka RBS dan penilaian tingkat kesehatan bank dengan peningkatan kewaspadaan dari manajemen risiko yang ada. Hal ini terkait pula dengan Basel II dan III, dimana pada Basel III terkait dengan penguatan modal dan penyempurnaan manajemen risiko. Selain itu karena Indonesia harus mengacu pada International Financial Reporting Standard (IFRS).
PBI dengan pendekatan risiko ini merupakan penyempurnaan dari sistem penilaian dan kerangka pengawasan bank dimana ada mekanisme judgement dan analisis komprehensif terstruktur sebagai landasan utama.
"Pendekatan risk-based artinya belum ada suatu pelanggaran. Baru akan mendekati suatu pelanggaran dan ada tendensi mau melakukan pelanggaran. Berarti kita harus segera melakukan perbaikan dan tindakan." Lanjutnya.
***
Peneliti Senior Bank Indonesia, Sally Marintan Hutapea yang juga menjadi narasumber pada workshop ini menjabarkan metodologi penilaian tingkat kesehatan bank. Hal yang sama disampaikan Sally bahwa metodologi RBBR ini akan menjadi Surat Edaran (SE) Bank Indonesia yang rencananya akan segera dikeluarkan Mei 2011 ini.
Sally menekankan bahwa implementasi RBBR ini lebih pada aspek analisis dan judgement dimana dari sisi Bank Indonesia berupaya mengembangkan suatu sistem penilaian peringkat atau rating yang lebih fleksibel agar dapat lebih mengakomodir keunikan dari masing-masing bank yang ada.
"Disadari tidak ada satu bank yang sama, sehingga dalam penilaian tingkat kesehatan bank tidak ada one size fits all approach. Walaupun kami akan memberikan indikator utama tetapi bank sendiri yang akan menentukan risk profile, GCG, rentabilitas, dan permodalan bank sendiri.” Jelas Sally.
Tetapi walau demikian, tetap ada rambu-rambu yang diberikan oleh Bank Indonesia saat bank melakukan penilaian. “Tentunya rambu-rambu kami akan berikan. Jadi menurut bank central inilah minimum requirement yang harus ada pada saat bank akan menilai risiko kredit, risiko pasar, operasional, likuiditas, juga modal dan rentabilitas. Tetapi tugas selanjutnya untuk memasukan indikator atau aspek yang unik terhadap bank itu adalah tugas bank." Imbuhnya.
RBBR merupakan integrasi antara 2 sistem rating yg berbeda yaitu CAMELS dan risk profile dimana sebelumnya pada risk profile ada 9 item risiko dan 6 poin pada CAMELS yang menjadi 4 faktor penilaian RBBR menjadi single rating system.  
Pada tataran implementasi, tantangan yang teridentifikasi baik dari pihak Bank Indonesia maupun dari pihak bank adalah:
  1. Mengubah mindset dari kuantitatif menjadi analytical thinking yang didasari oleh analisis atas fakta-fakta
  2. Mengubah konsep dan aplikasi risiko inheren (inherent risk)
  3. Konsep analisis dan rasio-rasio baru
  4. Metodologi baru untuk mengaitkan modal dengan risiko 

“Bank Indonesia juga sedang membangun suatu sistem yang namanya bank performance report, berisi rasio-rasio yang datanya terutama dihasilkan oleh Laporan Bank Umum. Kami juga membentuk peer group yang  berdasarkan size dan juga yang berdasarkan ownership.” Ungkap Sally.
***
Workshop pembahasan mengenai identifikasi, metodologi dan implementasi RBBR ini terselenggara untuk merespon hadirnya PBI baru dimana bank dituntut untuk mempelajari, memahami dan mampu memenuhi kewajiban dalam PBI ini. Workshop berlangsung 2 hari dari 27 – 28 April 2011 di Hotel JW. Marriott, diikuti 37 peserta dari berbagai bank di Indonesia.
Dengan menghadirkan para narasumber kompeten dari Bank Indonesia sebagai regulator sektor perbankan dan moneter, pembahasan mengenai RBBR dapat dikupas secara mendalam mengenai 4 faktor penilaian RBBR yaitu profil risiko, GCG, earnings dan capital. (adm/ga)

resiko liquidity bank centuri

Kasus Bank Century yang kini berubah nama menjadi Bank Mutiara terus bergulir kencang padahal awalnya tampak biasa saja. Namun, kini kasus itu menggelinding memasuki ranah politik segera setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Bank Century.
Setelah setahun bailout LPS masuk ke Bank Century, hasil audit BPK akhirnya membongkar adanya ‘pat-gulipat’ dalam pengelolaannya. Kasus ini diharapkan bisa terbongkar dengan transparan demi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Gagal mengikuti kliring pada tanggal 13 November 2008 menjadi awal dari terbongkarnya berbagai penipuan di Bank Century. Walau obat penawar sudah dikucurkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui dana talangan (bailout), namun hingga setahun berselang, bank ini belum juga sembuh. Uang nasabah tetap tidak kembali, uang negara malah ikut raib
Gagal kliring itu sendiri karena Bank Century kekurangan dana di Bank Indonesia (BI) sebagai syarat mengikuti kliring. Sementara penyebab awal persoalan keuangan di bank ini menurut hasil pemeriksaan, adalah adanya surat berharga valuta asing (valas) bank ini yang bermasalah. Surat berharga yang dibeli pada 2003 yang seluruhnya (sekitar US$203,4 juta) diterbitkan oleh bank asing itu tergolong macet karena tidak memiliki rating.
Diketahuilah bahwa dana cadangan bank ini di BI sudah di bawah saldo minimal. Di samping itu, selama ini bank ini ternyata melakukan penjualan reksadana walau tidak mempunyai izin. Bahkan, salah satu reksadana itu merupakan reksadana ‘bodong’. Alias, dibuat tanpa seizin Badan Pengawas Penanaman Modal (Bapepam). Reksadana tersebut dijual dengan nama Investasi Dana Tetap Terproteksi dan dikeluarkan oleh PT. Antaboga Delta Sekuritas. Sekitar Rp 1 triliun - 1,5 triliun uang nasabah terkena masalah seputar produk yang dikabarkan sudah dijual sejak tahun 2001 itu. Uang itu diberitakan mengalir ke rekening Robert Tantular sebagai pemilik bank dan rekannya di Antaboga.

Modus kasus yang boleh disebut pembobolan secara sistematis ini adalah dengan cara mengiming-imingi para nasabah dengan bunga tinggi di atas bunga deposito yang berlaku saat itu. Nasabah yang percaya, akhirnya memindahkan dananya dari Bank Century ke rekening Antaboga yang ada di Century juga. Setelah dana masuk ke rekening Antaboga, uang itu kemudian ditarik oleh Robert. Selain melalui cara itu, pembobolan dengan modus pinjaman juga dilakukan Robert. Yaitu, beberapa kredit dikucurkan manajemen lama ke berbagai nama yang ternyata ujungnya ke Robert juga.
Kasus bailout  berawal dari masalah kesulitan likuiditas dan modal Bank Century. Untuk mengatasi masalah keuangan itu, pada tanggal 15 Oktober 2008, bank central sebenarnya telah memerintahkan tiga pemegang saham mayoritas bank ini, yakni Robert Tantular, Rafat Ali Rizfi, dan Hesyam Al Waraq menandatangani letter of commitment yang isinya memuat janji ketiganya untuk membayar surat berharga yang jatuh tempo dan menambah modal bank. Selain itu, mereka juga berjanji mencari investor baru untuk menyelesaikan permasalahan bank paling lambat 31 Maret 2009. Namun, mereka tidak menepati janjinya sehingga Bank Century tidak bisa memenuhi kewajibannya pada nasabah.
Melihat kenyataan demikian, BI akhirnya memberikan fasilitas pendanaan jangka pendek pada bank ini sebesar Rp502 miliar pada 14 November 2008. Seiring dengan itu, BI juga kembali memerintahkan Robert, Hesyam dan Rafat menepati komitmennya yang dituangkan kemudian dalam letter of commitment pada 16 November 2008. Surat itu antara lain berisi komitmen untuk memindahkan surat berharga Bank Century ke bank kustodian di Indonesia, mengembalikan hasil pembayaran surat berharga yang jatuh tempo dan tidak akan menjaminkan surat berharga ke pihak lain. Tapi, letter of commitment ini juga tidak ditepati. BI pun kembali mengucurkan fasilitas pendanaan jangka pendek sebesar Rp187 miliar pada 18 November 2008.
Lantaran kondisi Bank Century makin memburuk, pada 21 November 2008 penanganan bank itu pun akhirnya diserahkan pada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada saat itu juga, LPS menyuntikkan dana Rp2,77 triliun agar kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century 10 persen. Kemudian pada 5 Desember 2008, LPS kembali menyuntikkan dana Rp2,20 triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Ketiga, pada 3 Februari 2009 LPS memberi lagi dana sebesar Rp1,15 triliun. Dan keempat, pada 21 Juli 2009 LPS kembali menyuntikkan dana sebesar Rp630 miliar. Jadi, total LPS telah menyuntikkan dana Rp6,7 triliun kepada Bank Century setelah pengelolaan bank tersebut diambil alih.
Alasan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Menkeu, BI, dan LPS melakukan penyertaan modal sementara di bank ini melalui LPS, selain mengganti manajemen bank, karena BI menilai kondisi yang dialami Bank Century saat itu bisa berdampak sistemik yang bisa menimbulkan penyebaran masalah ke bank lainnya.
DPR meminta BPK melakukan audit investigasi atas penyertaan modal pemerintah melalui LPS ke Bank Century yang membengkak menjadi Rp6,7 triliun. Mulai dari proses merger tiga bank menjadi Bank Century, tidak tegasnya BI terhadap pelanggaran Bank Century selama tahun 2005-2008, hingga pengucuran dana bailout. Sesuai hasil audit BPK yang diserahkan ke DPR tertanggal 23 Nov 2009 menunjukkan adanya paling tidak lima bagian dugaan pelanggaran di dalam kasus Bank Century yang dilakukan oleh pemilik lama, BI, hingga KKSK.
Selain itu munculnya risiko sistemik dari sisi fiskal akibat kebijakan pengetatan fiskal atau perlambatan pengeluaran atau belanja pemerintah yang dilakukan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah kebijakan inilah yang justru telah menciptakan risiko sistemik pada perbankan nasional.
Bank Century adalah kasus kriminal individu dari bank kecil yang pengaruhnya tidak akan signifikan terhadap industri perbankan. Semestinya yang dilakukan Bank Indonesia dan KSSK adalah menutup dan meyakinkan publik bahwa kasus Bank Century murni kasus kriminal dan tidak terkait dengan krisis global maupun kondisi makroekonomi dan perbankan nasional.
Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Departemen Keuangan berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century melalui suntikan dana tersebut sudah tepat dengan alasan untuk menghindari risiko sistemik yang mungkin timbul dari ditutupnya Bank tersebut sehingga dikhawatirkan terulangnya kembali krisis keuangan seperti tahun 1998 lalu. Atas keputusan ini, banyak pihak menilai bahwa keputusan menyelamatkan Bank Century tidak tepat. Selain menggunakan uang Negara yang merupakan uang rakyat, alasan mengenai kemungkinan terjadinya risiko sistemik kurang bisa dipertanggungjawabkan. Menurut pihak yang tidak setuju dengan penyelamatan Bank ini, ditutupnya Bank ini tidak akan mengganggu kestabilan sistem perbankan Negara kita karena secara market share Bank Century hanya mempunyai mencakup 0,1 % jumlah nasabah perbankan di Indonesia. Selain itu asset Bank Century hanya berjumlah 0,3 % dari total asset perbankan Indonesia.
Penutupan Bank Century diperkirakan akan mengakibatkan kepanikan pada nasabahnya. Kepanikan ini mendorong nasabah-nasabah lain akan berbondong-bondong menarik uangnya pada banyak bank terutama Bank-bank kecil sekelas Century dan memindahkan ke bank-bank yang lebih besar. Penarikan besar-besaran ini mengakibatkan bank-bank yang pada awalnya sehat menjadi ikut bermasalah dan mengalami masalah likuiditas, disini terjadi risiko likuiditas. Sebagai akibatnya bank-bank ini akan berusaha mencari pendanaan dengan meminjam dana dari Bank-bank besar melalui pinjaman antar bank.
Dalam hal ini bank-bank besar cenderung lebih berhati-hati dalam mengucurkan dananya sehingga bank-bank kecil semakin terdesak karena kesulitan memperoleh likuiditas. Dalam keadaan seperti inilah banyak bank akan berjatuhan. Sistem perbankan akan mengalami rush dan mengakibatkan naiknya suku bunga pinjaman secara tajam. Selain itu akan banyak terjadi kredit macet sehingga nasabah akan mengalami kerugian dan sektor industri juga akan terkena dampaknya. Sebagai akibatnya, bank-bank besarpun akan terkena dampaknya dan terjadilah kelumpuhan sistem perbankan. Akibat lebih jauh adalah merosotnya kredibilitas sistem perbankan nasional sehingga akan terjadi capital outflows secara besar-besaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap investasi nasional, country risk dan sistem ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Selain terjadinya risiko likuiditas, kredit macet dan risiko sistemik, Bank Century juga tersengat risiko reputasi. Namun sebelumnya, simak dulu penerapan manajemen risiko di perbankan nasional. Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PB1/2003 tanggal 13 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Ini merupakan simbol sejarah anyar dalam perbankan nasional dengan berbasis manajemen risiko. PBI ini bertujuan untuk mengantisipasi risiko sejalan dengan pesatnya perkembangan bisnis perbankan dan perubahan lingkungan bisnis.
Namun, pada PBI Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, bank umum konvensional wajib menerapkan manajemen risiko untuk seluruh jenis risiko sejak 1 luli 2010. Dengan bahasa manajemen risiko, setiap produk, jasa, dan aktivitas bisnis perbankan wajib berbasis manajemen risiko.
Terkait dengan kasus Bank Century, risiko yang layak diamati dengan cermat adalah risiko reputasi. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholders) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap suatu bank. Risiko tersebut muncul antara lain karena adanya pemberitaan dan atau rumor mengenai bank yang bersifat negatif serta strategi komunikasi bank yang kurang efektif.
Kalau pembeberan kasus Bank Century ini berlangsung lama tanpa memperhatikan kehati-hatian, maka sangat mungkin Bank Mutiara akan kian menderita risiko reputasi. Karena kian lama berarti akan kian lama pula warta negatif akan menusuk Bank ini.
Riset EIU menunjukkan bahwa risiko reputasi memiliki ancaman paling tinggi (52%). Ini disusul risiko regulasi (masalah mencuat gara-gara ketentuan 41%), SDM (lemahnya keterampilan, isu suksesi, kaburnya pegawai unggul 41%), jaringan IT (gagal sistem 35%), pasar (turunnya nilai aset di pasar 32%), kredit (kredit macet 29%), negara (geger di kawasan tertentu 22%), finansial (sulit mencari dana 21%), terorisme (19%), nilai tukar (18%), bencana alam (18%), politik (heboh pergantian pemerintahan 18%) dan kriminal dan keamanan (15%).
_http://www.academia.edu/4705557/PENGUKURAN_RISIKO_PEMBIAYAAN_PERBANKAN_SYARIAH_INDONESIA_PENDEKATAN_VALUE_AT_RISK_

DARI LINK DIATAS DAPAT DIBUKA pengukuran resiko pembiayaan bank syariah dengan pendekatan value at risk, yang diupload oleh floury handayani.
 

RISIKO PASAR PADA CITIBANK

KHAIRUNNAS, FAKULTAS ILMU SOSIL DAN ILMU POLITIK, U N I V E R S I T A S   R I A U
 
Dampak terbongkarnya kejahatan MD, selain menggoyahkan reputasi Citibank, juga membawa efek berantai pada industri perbankan nasional yang tengah berupaya ekstra memulihkan kredibilitasnya akibat skandal Bank Century.  Tetapi,  kasus MD dan Citibank seperti meruntuhkan seluruh kerja keras tersebut. Alhasil kredibilitas perbankan Tanah Air pun kembali goyah.
Bahkan kasus yang bagai air kini mengalir deras hingga menyentuh persoalan pencucian uang. Malinda Dee lewat pengacaranya mengaku bahwa Citibank telah menampung dana pencucian uang nasabahnya selama 10 tahun. Jadi pihak Citibank telah lama mengetahui praktik Malinda yang kini telah merugikan nasabah sebesar Rp16,03 miliar. Dampaknya, jika terjadi masalah pada Citibank maka akan mempengaruhi reputasi bank lain dalam pasar tersebut.
Sebuah data menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, yaitu periode 2007-2010, terjadi sekitar 15.097 kasus pembobolan perbankan. Selain Citibank dan Bank Mega, ada sederetan kasus yang menjadi perhatian publik dalam setahun terakhir. Kasus-kasus tersebut, antara lain pembobolan kantor kas BRI Tamini Square sebesar Rp 29 miliar, pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank BII dengan total kerugian Rp 3,6 miliar, dan pencairan deposito dan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya di Bank Mandiri dengan nilai kerugian Rp 18 miliar.
Jadi, kejahatan yang menimpa dunia perbankan ini tidak hanya dialami
bank-bank kecil tapi juga perbankan  besar dengan reputasinya yang sudah teruji. Para pelaku pembobolan pun bukanlah siapa-siapa tapi, dari kalangan karyawan bank sendiri. Sungguh ironis, sebagai sebuah institusi bisnis yang sangat bertumpu pada kepercayaan, reputasinya justru dirusak oleh orang dalamnya.
Betapapun kecilnya kerugian yang diderita, kasus pembobolan dana nasabah jelas merusak, setidaknya, mengganggu reputasi perbankan sebagai institusi bisnis yang aman bagi masyarakat dalam menyimpan dananya.
Dengan gampang kita pasti akan menyebutkan bahwa kasus-kasus pembobolan terjadi karena perbankan tidak lagi memperhatikan prosedur standar dalam pengelolaan risiko. Padahal, setiap bank pasti memiliki Satuan Kerja Manajemen Risiko yang berfungsi memantau dan menilai secara sistematik profil risiko bank. Tim pengelola risiko inilah yang bertugas mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan, prosedur, serta pengawasan internal perbankan.
Fungsi pengendalian atau pengawasan internal berperan penting dalam mengelola risiko operasional perbankan. Adalah tugas bidang pengendalian internal inilah yang tetap harus membelalakkan mata untuk meneropong dan mengidentifikasi setiap risiko yang berpotensi menimbulkan kegagalan atau kerugian dalam sistem perbankan.
Krisis perbankan yang telah menimpa perekonomian dalam satu decade terakhir ini menjadi pelajaran berharga bagi otoritas moneter untuk semakin memperkuat regulasi dan kelembagaan perbankan dalam mengelola risiko. Sejak 2004, Bank Indonesia telah mengeluarkan sejumlah ketentuan dalam mengelola risiko perbankan, seperti pembentukan Komite Manajemen Risiko dan Satuan Kerja Manajemen Risiko.
Satuan Kerja Manajemen Risiko berfungsi untuk memastikan pelaksanaan proses berjalan lancar dan memberikan gambaran profil risiko kepada manajemen. Selain itu, bank – dengan jumlah asset besar — diwajibkan untuk mengidentifikasi dan membuat profil risiko terhadap delapan (8 ) risiko utama, yaitu risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko strategik, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan.
Untuk meminimalisasi risiko-risiko yang dihadapi oleh suatu bank, manajemen bank tersebut harus memiliki keahlian dan kompetensi yang memadai, sehingga segala macam risiko yang berpotensi untuk muncul dapat diantisipasi dari sejak awal dan dicarikan cara penanggulangannya.
Kasus Citibank, Bank Mega, dan kasus-kasus pembobolan serupa lainnya menunjukkan kepada kita bahwa pengelolaan risiko perbankan belum dilakukan dengan baik. Bank gagal dalam mengelola risiko operasional yang di dalamnya meliputi risiko reputasi dan risiko kepatuhan.

ANALISIS:
Risiko operasional memang merupakan ancaman terbesar dari sejumlah risiko yang dihadapi bank. Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian yang diakibatkan kegagalan proses internal, orang, dan sistem atau dari peristiwa eksternal. Artinya, risiko ini timbul dari berbagai jenis kesalahan manusia dan kesalahan teknis.
Kegagalan dalam mengelola risiko operasional bisa membawa dampak yang sangat luas, mulai dari tergerusnya modal bank, kerugian derivative yang besar, bahkan berpotensi sebagai penyebab utama kebangkrutan dalam industri perbankan. Risiko ini dapat terjadi di seluruh organisasi,  pada front office dan back office, termasuk terjadi pada aktivitas-aktivitas sebelum, selama, dan setelah transaksi bisnis.
Dalam mengelola risiko operasional, manajemen wajib memastikan setiap unit kerja menjalani fungsi dan tugasnya sesuai prosedur. Sekecil apapun kesalahan tidak bisa ditoleransi. Hal ini diterapkan mulai level direktur hingga staf.

 

pembiayaan fiktif BSM bogor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Syariah Mandiri (BSM) menyerahkan penanganan kasus tindak pidana perbankan di BSM Kantor Cabang Bogor kepada pihak kepolisian. Namun untuk masalah pembiayaan nasabah, BSM yakin dapat menyelesaikannya, termasuk meminta pertanggungjawaban kepada para pihak terlibat sesuai mekanisme hukum berlaku.

Corporate Secretary BSM, Taufik Machrus mengatakan saat ini ketiga pegawai BSM berinisial JL, HH dan MA yang terlibat kasus tidak pidana perbankan sudah dipecat. JL di-PHK pada 1 November 2012, HH 1 Desember 2012 dan MA pada 4 Oktober 2013.

Taufik mengatakan BSM menemukan ada pelanggaran ketentuan internal yang berindikasi adanya dugaan tindak pidana perbankan di BSM KC Bogor pada 2012. Atas temuan tersebut, dalam rangka menegakkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance atau GCG), BSM menurunkan tim audit internal. "Hasil  pemeriksaan tim audit internal memperkuat adanya dugaan tindak pidana perbankan dimaksud," ucap Taufik saat jumpa pers, Kamis (24/10).

Untuk memproses dugaan tindak pidana tersebut, BSM melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri dan mendukung penegakan hukum oleh kepolisian sebagai integritas dan dalam rangka melindungi para pemangku kepentingan perusahaan.

Kasus tersebut tidak membuat BSM takut kehilangan nasabah. "Justru pengungkapan kasus ini menunjukkan bahwa BSM punya sistem kontrol internal yang bagus. Sistem ini akan menambah keyakinan dan kepercayaan nasabah bahwa BSM mampu mengawal pembiayaan yang ada," ucap Machrus.

Dalam kesempatan tersebut Machrus mengatakan bahwa mobil mewah yang disita kepolisian bukanlah mobil milik mantan pegawai BSM tetapi milik developer yang menyediakan perumahan untuk pemohon pembiayaan perumahan bernama Iyan Permana.

Konsultan Hukum BSM, Bambang Sulistiyono mengatakan BSM belum dapat memastikan berapa total kerugian yang timbul. "Yang jelas dari total pembiayaan perumahan yang disalurkan pada kasus itu sebanyak Rp 102 miliar, yang sudah kembali sekitar Rp 50-an miliar," ujarnya.  

Sulis, sapaan akrabnya mengatakan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing atau NPF BSM tidak terganggu atas adanya masalah tersebut. Pasalnya BSM mempunyai early warning system yang baik sehingga dapat mendeteksi adanya penyimpangan. "Kami punya Direktorat Kepatuhan yang selalu memantau. Kalau penyaluran pembiayaan suatu kantor cabang tiba-tiba meningkat drastis maka akan diselesaikan," ujarnya.

Sulis belum tahu adakah nasabah fiktif atau tidak dalam kasus tersebut. "Kita tidak bisa katakan palsu atau tidak palsu. Itu tugas penyidik untuk membuktikannya," kata dia.

Ini adalah kasus tindak pidana perbankan pertama yang dialami BSM. Ke depannya BSM akan lebih memperbaiki early warning system-nya

analisis:
dalam kasus ini bank harus menerapkan sistem yang lebih ketat terhadap pengawasan pegawainya karena setiap pegawai memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran operasional, oleh karena itu juga pentingnya mengadakan pembekalan moral dan spiritual bagi setiap pegawai sehingga dia akan selalu mengikuti perintah agamanya. dalam kasus ini terbukti bahwa bank syariah mandiri kurang terhadap mengawasi pegawainya....

Jumat, 28 Februari 2014

pembiayaan fiktif BSM bogor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Syariah Mandiri (BSM) menyerahkan penanganan kasus tindak pidana perbankan di BSM Kantor Cabang Bogor kepada pihak kepolisian. Namun untuk masalah pembiayaan nasabah, BSM yakin dapat menyelesaikannya, termasuk meminta pertanggungjawaban kepada para pihak terlibat sesuai mekanisme hukum berlaku.

Corporate Secretary BSM, Taufik Machrus mengatakan saat ini ketiga pegawai BSM berinisial JL, HH dan MA yang terlibat kasus tidak pidana perbankan sudah dipecat. JL di-PHK pada 1 November 2012, HH 1 Desember 2012 dan MA pada 4 Oktober 2013.

Taufik mengatakan BSM menemukan ada pelanggaran ketentuan internal yang berindikasi adanya dugaan tindak pidana perbankan di BSM KC Bogor pada 2012. Atas temuan tersebut, dalam rangka menegakkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance atau GCG), BSM menurunkan tim audit internal. "Hasil  pemeriksaan tim audit internal memperkuat adanya dugaan tindak pidana perbankan dimaksud," ucap Taufik saat jumpa pers, Kamis (24/10).

Untuk memproses dugaan tindak pidana tersebut, BSM melaporkan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri dan mendukung penegakan hukum oleh kepolisian sebagai integritas dan dalam rangka melindungi para pemangku kepentingan perusahaan.

Kasus tersebut tidak membuat BSM takut kehilangan nasabah. "Justru pengungkapan kasus ini menunjukkan bahwa BSM punya sistem kontrol internal yang bagus. Sistem ini akan menambah keyakinan dan kepercayaan nasabah bahwa BSM mampu mengawal pembiayaan yang ada," ucap Machrus.

Dalam kesempatan tersebut Machrus mengatakan bahwa mobil mewah yang disita kepolisian bukanlah mobil milik mantan pegawai BSM tetapi milik developer yang menyediakan perumahan untuk pemohon pembiayaan perumahan bernama Iyan Permana.

Konsultan Hukum BSM, Bambang Sulistiyono mengatakan BSM belum dapat memastikan berapa total kerugian yang timbul. "Yang jelas dari total pembiayaan perumahan yang disalurkan pada kasus itu sebanyak Rp 102 miliar, yang sudah kembali sekitar Rp 50-an miliar," ujarnya.  

Sulis, sapaan akrabnya mengatakan tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing atau NPF BSM tidak terganggu atas adanya masalah tersebut. Pasalnya BSM mempunyai early warning system yang baik sehingga dapat mendeteksi adanya penyimpangan. "Kami punya Direktorat Kepatuhan yang selalu memantau. Kalau penyaluran pembiayaan suatu kantor cabang tiba-tiba meningkat drastis maka akan diselesaikan," ujarnya.

Sulis belum tahu adakah nasabah fiktif atau tidak dalam kasus tersebut. "Kita tidak bisa katakan palsu atau tidak palsu. Itu tugas penyidik untuk membuktikannya," kata dia.

Ini adalah kasus tindak pidana perbankan pertama yang dialami BSM. Ke depannya BSM akan lebih memperbaiki early warning system-nya